Mengingat Bapak Menjelang Hari Suci

Hari ini cuti lebaranku sudah dimulai (puih! akhirnya.. I really need this holiday). Pagi ini aku mulai dengan ikut sahur terakhir (tahun ini) sama mama dan adek2. Seru banget, ketawa-ketawa bareng.

Ramadhan kali ini, somehow, berbeda dengan tahun lalu. Tahun lalu dengan berpulangnya Bapak membuat Ramadhan menjadi lebih sedih, walaupun lebih khusyuk rasanya. Ramadhan tahun ini, terasa lebih ringan. Lebih gembira. Kita sekeluarga terasa sudah kembali 'normal' dan terbiasa dengan ketidakberadaan Bapak.

Terbiasa memang, namun terkadang, kerinduan yang dalam akan kehadiran si Bapak sangat menusuk hati. Mungkin 'terbiasa' bukan kata yang tepat untuk itu, kata yang tepat adalah mencoba melupakan bahwa Bapak sudah tidak ada. Mencoba berpikir bahwa mungkin saja Bapak saat ini sedang ada di mesjid, sedang i'tikaf seperti yang biasa dia lakukan saat Ramadhan.

Saya ingat satu kejadian di Ramadhan kali ini yang membuat rasa rindu saya ke Bapak semakin menusuk-nusuk. Hari Sabtu minggu lalu. Hari ini merupakan hari pertama Ngatni pulang kampung, dan isi rumah hanya 'kita' saja. Ika mulai dengan kegiatannya merapikan rumah, Citra dengan cucian bajunya, Leli dengan berisiknya, Abah dengan kebunnya, Mama dengan kue-kuenya. Satu saja yang hilang, suara Bapak yang sedang menggoda semua orang yang sedang bekerja. Tahun lalu ini tidak terlalu terasa karena kita semua sibuk dengan rasa sedih kita, tapi tahun ini, semua hal kecil itu kembali ke pikiranku.

Hari ini tidak terkecuali.

Besok sudah lebaran, aku jadi teringat hal-hal yang Bapak lakukan menjelang lebaran. Rumah akan penuh dengan suara takbir yang dia kumandangkan. Tawa yang keluar dari mulutnya karena sibuk menggoda kita (anak dan istrinya). Atau kesibukannya nge-cat rumah, merapikan berbagai kertas di penjuru rumah, atau suara beliau mengaji. Duh! Yang paling memilukan hati adalah mengingat betapa tampannya Bapak di hari lebaran, dengan jasnya, sarung, wewangian, dan kopiah. Ganteng banget!

Pagi hari lebaran, Bapak pasti sibuk berteriak-teriak agar kita bergegas. Satu hal yang selalu Bapak katakan kepadaku di hari lebaran adalah 'anak kita cantik sekali yah ma!'. I don't know why, tapi setiap kali melihatku dengan baju lebaranku Bapak pasti berkata seperti itu. Every time he did that, I knew I was loved dearly by my parents.

Hal lain yang akan selalu aku ingat adalah bagaimana mata Bapak selalu berkaca-kaca ketika kita semua memohon maaf kepadanya. Padahal kita lebih berdosa kepadanya. Padahal kita lebih sering berbuat salah kepadanya.

Hari ini, sehari sebelum lebaran, rumah sunyi sekali. Tidak ada suara Bapak mengaji. Tidak ada suara takbir dari mulut Bapak. Dan lagi, it struck me. Bapak sudah tidak ada lagi.

Tapi aku yakin lebaran kali ini, seperti halnya tahun lalu, Bapak berada di tempat yang lebih baik dan sedang berbahagia. Amin.

Duh Pak! Kangen banget.

Comments

Anonymous said…
Met Lebaran ya Kikie - that's life girlfriend, glad you're one strong lady. Hope this lebaran is more meaningful than ever. Hope to catch ou soon.

Popular posts from this blog

Mengenang Bapakku (21 Juli 1950 - 20 September 2004)

The Wedding (The Invitation Part II)

An intro about Mom's cancer