Catatan Ramadhan 2

Just like every year, Kak Hanni manages to celebrate Ramadhan by sending people daily stories about Ramadhan or Islam. It is always insightful. But today, for the first time, it brought tear to my eyes. I thought I share it with you.


Catatan 2 Ramadhan 1426H

"Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.
Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan
sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).
Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan"

[QS Al Anbiyaa' ayat 35]

*************************************************

"Bunda Bobo ya... Dinda tungguin di luar"

Entah kenapa, beberapa hari terakhir ini aku kerap teringat pada mbak Nita, kakak sahabatku yang sedang berjuang melawan penyakit kanker rongga hidung. Memasuki Ramadhan, kesibukan mempersiapkan anak sulungku untuk belajar puasa terasa begitu 'exciting' dan itu mengingatkanku pada mbak Nita, karena Dinda, putrinya pun kira-kira seusia dengan Amanda-ku. Bolak-balik aku terdiam, membayangkan bahwa semestinya kesibukan mbak Nita dan aku sama.. mengemas Ramadhan sebagai bingkisan indah dan menarik untuk anak-anak kami, agar ia bersemangat menjalaninya. Rasa pilu lalu datang menuntaskan bayangan itu, karena aku tahu, hari-hari mbak Nita terisi kesibukan menempuh pengobatan kemoterapi, radiasi dan segala ikhtiar yang mungkin ditempuh seorang manusia demi meniti harapan akan kesembuhan. Aku hanya 2-3 kali bertemu mbak Nita, tapi cukup untuk memahami bahwa ia sangat enerjik dan tangguh. Sahabatku pun bercerita bahwa mbak Nita melangkah tegar menjalani semua pengobatan yang harus ia lalui, menempuh jarak Bogor- RSCM setiap hari untuk kemoterapi tanpa tercetus keluh kesah dari bibirnya. "Dia mau sembuh.. dia ingin mendampingi Dinda tumbuh besar..." Subhanallah, tekad seorang Ibu mengalahkan segala rasa sakit.

Lalu sekitar waktu Dzuhur tadi, aku menerima email dari sahabatku bahwa mbak Nita sejak Senin lalu dirawat di ICU karena kondisinya menurun setelah 3 hari menjalani kemoterapi seri kedua. Masya Allah, ICU... bagaimana Dinda melihat Ibunya terbaring di ICU?? Hanya itu pertanyaan yang berkecamuk di dalam kepalaku. Kulanjutkan membaca email sahabatku yang mengisahkan adegan mengharukan di Rumah Sakit, semalam. Dinda diizinkan masuk ke dalam ruang ICU, ia menyentuh pipi mbak Nita yang tergolek lemah tak lagi sanggup bicara. Mata mbak Nita terbuka, walau dalam rasa sakit yang pasti amat sangat menusuk, terbaca semangat dan kebahagiaan menatap putrinya berdiri tegak di sisi tempat tidur. Dengan segala daya, dikedipkan sebelah matanya untuk Dinda.. menyisipkan sebersit canda yang sarat akan cinta. "Bunda bobo ya.. Dinda tungguin Bunda di luar" begitu mulut kecil itu berujar. Tidak ada air mata.. kaki kecil itu berjingkat keluar ruangan, membawa berita bahagia pada seluruh anggota keluarga yang menunggu di luar "Aku tadi berdo'a satu... Bunda bisa kedipin matanya untuk aku.. Kalau aku berdo'a seratus, Bunda sembuh kan ya???"

Tangisku menggugu, membayangkan harapan Dinda. Rasanya tidak adil, aku duduk di sini, di sisi putriku yang asyik bermain menunggu waktu buka puasa, sementara di sana sebayanya sedang menumpuk asa dalam kengiluan melihat tubuh Bundanya berbalut selang.

Pukul 15.11 masuklah sebuah sms singkat ke hp-ku "Han, Allah baru aja memanggil mbak Nita".. Sungguh pesan yang tak lazim. Aku cuma menatapi layar hp, mencoba membacanya lagi dan lagi, tak bisa mencerna. Wajah mbak Nita, wajah Dinda, wajah sahabatku berlalu lalang di kepalaku. Sepertinya baru kemarin aku mendengar cerita-cerita kelahiran Dinda, kompaknya Dinda dan mbak Nita. Dialog-dialog lucu seorang Bunda dan putrinya. Selesai sudah cerita indah itu.. Pada usianya yang ke-35, sampailah mbak Nita pada akhir perjalanannya mendampingi Dinda. Innalillaahi wa inna ilaihi roji'uun...

Duh ya Allah.. ampuni dosa isakan ini. ..aku tahu, kehidupan ini adalah milikMu,ada dalam kuasa dan kehendakMu..tapi aku tak sanggup membayangkanDinda merajut hari-hari ke depan tanpa Bunda..pergi ke sekolah.. mengerjakan PR.. bersiap untuk ulanganbercerita tentang teman-temannya..
menuangkan tangis... mengeluhkan rasa sakit

Ilahi Rabbi..aku hanya mampu memeluk erat putrikumensyukuri detik yang masih kumiliki bersamanyamenikmati tawanya..menghibur tangisnya..merawat sakitnya..

Selamat jalan, mbak Nita...
Terimakasih atas teladanmu
sedekah kasih sayang pada yatim, piatu & dhuafa
yang tak pernah putus sepanjang hayat
kiranya 'kan jadi kunci syurgamu
Melangkahlah dalam damai, menuju rumah abadimu..Allah pasti 'kan menjaga Dinda dalam genggamNyadan dari atas sana..kau dapat tersenyum melihatnya tumbuhmenjadi putri sholehah..berbatin cantik.. berhati tegar..persis seperti Bundanya...

aamiin


**************do'a & dukacita mendalam untuk bang Agus, Dinda, Ayah, Mak, Kak Yuli dan seluruh keluarga besar Amran....

5 Oktober 2005(hds)


Sigh.

Jadi kangen sama Bapak...

Comments

Anonymous said…
Let da children mosey wit Nature, let'em see da beautiful blendings n communions of death n life, their joyous inseparable unity, as taught in woods n meadows, plains n mountains, n streams of our blessed star, n they'll learn dat death is stingless indeed, n as beautiful as life.

Time is da only comforter of da loss of mother. Believe dat grieve passes but beauty remains. Ma lesson bout life : ... it goes on.

Ma Condolonces, ma'am
JR

Popular posts from this blog

Mengenang Bapakku (21 Juli 1950 - 20 September 2004)

The Wedding (The Invitation Part II)

An intro about Mom's cancer